Mengenai menyambung shalat sunnah (setelah shalat fardhu), apakah perlu memisahkan antara keduanya dalam waktu yang lama, atau apakah boleh shalat sebelumnya atau setelahnya secara langsung?
Soal:Mengenai menyambung shalat sunnah (setelah shalat fardhu), apakah perlu memisahkan antara keduanya dalam waktu yang lama, atau apakah boleh shalat sebelumnya (qabliyah) atau setelahnya (ba’diyah) secara langsung? Jazaakumullahu khairan.
Jawab:
Dianjurkan bagi orang yang shalat untuk memisahkan antara shalat fardhu dan shalat sunnah dengan perkataan (baik dengan ngobrol maupun dzikir –pent), atau dengan berpindah ke tempat lain. Dan berpindah tempat, yang paling baik ialah berpindah ke rumah untuk shalat sunnah, bila shalatnya ba’diyah. Atau shalat dulu di rumah, kemudian berangkat ke masjid untuk shalat fardhu bila shalatnya qabliyah. Karena shalat yang paling utama bagi seorang laki-laki ialah di rumahnya, kecuali shalat fardhu. Sebagaimana shahih dari hadtis Umar bin Atha’ ibn Abi Al Khuwwar, bahwa Nafi’ ibn Jubair pernah mengutusnya untuk bertanya kepada As Sa’ib ibn Ukhti Namr, tentang sesuatu yang pernah dilihat Muawiyah ketika ia shalat. Beliau berkata,
فَقَالَ: نَعَمْ. صَلّيْتُ مَعَهُ الْجُمُعَةَ فِي الْمَقْصُورَةِ. فَلمّا سَلّمَ الاْمَامُ قُمْتُ فِي مَقَامِي. فَصَلّيْتُ. فَلَمّا دَخَلَ أَرْسَلَ إِلَيّ فَقَالَ: لاَ تَعُدْ لِمَا فَعَلْتَ. إِذَا صَلّيْتَ الْجُمُعَةَ فَلاَ تَصِلْهَا بِصَلاَةٍ حَتّىَ تَكَلّمَ أَوْ تَخْرُجَ. فَإِنّ رَسُولَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم أَمَرَنَا بِذَلِكَ. أَنْ لاَ تُوصَلَ صَلاَةٌ بِصَلاَةٍ حَتّىَ نَتَكَلّمَ أَوْ نَخْرُجَ
“Iya. Aku pernah shalat Jumat bersamanya di Al Maqshurah (sebuah benteng yang besar). Ketika imam salam aku pun berdiri dari tempatku, lalu shalat. Maka ketika aku masuk dan menemuinya, Muawiyah berkata, “Jangan kau ulangi lagi perbuatanmu. Bila engkau shalat Jumat janganlah shalat sunnah hingga engkau berbicara atau telah keluar (dari masjid). Karena sesungguhnya Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam memerintahkan kami hal tersebut, yaitu agar tidak menyambung shalat (fardhu) dengan shalat (sunnah) hingga berbicara atau keluar“.
Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil ulama madzhab kami (yaitu Syafi’iyah) bahwasanya shalat sunnah rawatib atau selainnya dianjurkan untuk dikerjakan dengan berpindah tempat dari tempat shalat fardhu, dan tempat paling afdhal ialah rumah, kemudian tempat lain di masjid atau selainnya untuk memperbanyak tempat sujudnya. Hal ini dalam rangka memisahkan shalat sunnah dengan shalat fardhu. Dan perkataan, ‘hingga engkau berbicara..’ adalah dalil bahwa pemisah diantara keduanya bisa dengan berbicara, akan tetapi yang lebih afdhal ialah berpindah tempat sebagaimana telah kami sebutkan. Wallahu a’lam.” –selesai nukilan dari Imam Nawawi.
Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Ibn Majah dengan lafadz dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu alaihi wa sallam beliau berkata,
أيعجز أحدكم إذا صلى أن يتقدم أو يتأخر أو عن يمينه أو عن شماله
“Tidak mampukah salah seorang diantara kalian bila selesai shalat ia berpindah ke depan, belakang, kanan, atau kirinya”. Yaitu shalat sunnah (ba’diyah atau qabliyah).
Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata, “Termasuk diantara sunnah ialah memisahkan antara shalat fardhu dan shalat sunnah ketika shalat Jumat atau selainnya. Sebagaimana terdapat dalam hadits shahih bahwasanya Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam melarang menyambung shalat dengan shalat lain hingga terpisah diantara keduanya dengan berdiri maupun berbicara. Maka janganlah mengerjakan apa yang dikerjakan oleh banyak orang yang menyambung salam dengan dua rakaat sunnah. Karena sesungguhnya hal tersebut melanggar larangan Nabi shallallaahu alaihi wa sallam.
Terdapat hikmah dalam sunnah ini yaitu adanya pembeda antara shalat fardhu dan selain yang fardhu, sebagaimana dibedakan pula antara ibadah dengan selain ibadah. Misalnya dalam anjuran menyegerakan berbuka puasa, dan mengakhirkan sahur, anjuran makan di hari Idul Fitri sebelum shalat ‘Ied, kemudian juga larangan berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan (dalam rangka berhati-hati, ikhtiyath –pent), semua ini adalah dalam rangka membedakan antara apa yang diperintahkan dalam syariat puasa dan selainnya, dan pembeda antara ibadah dengan selainnya. Seperti itu pulalah dibedakan antara shalat Jumat yang Allah wajibkan dengan selainnya” –selesai nukilan dari Ibn Taimiyyah.
Maka illat-nya (sebab pensyariatan) ialah sebagai pembeda antara yang fardhu dengan yang sunnah, atau pembeda antara ibadah dengan selain ibadah. Illat yang lain dalam anjuran memisahkan antara shalat sunnah dengan fardhu, atau antara shalat fardhu dengan shalat fardhu lain, shalat sunnah dengan shalat sunnah lain, ialah agar memperbanyak tempat sujud. Karena tempat-tempat tersebut kelak akan menjadi saksi di hari kiamat, sebagaimana telah berlalu penjelasan dari Imam Nawawi.
Ar Ramli berkata dalam Nihayatul Muhtaj, “Dan disunnahkan untuk berpindah tempat untuk shalat sunnah atau fardhu dari tempat asal shalat fardhu atau shalat sunnah ke tempat lain, dalam rangka memperbanyak tempat sujud karena ia akan menjadi saksi (di hari kiamat), dan juga dalam rangka menghidupkan suatu tempat untuk ibadah, dan apabila ia tidak berpindah tempat hendaklah memisahkannya dengan berbicara”.
Majduddin Abul Barakaat ibn Taimiyyah dalam Muntaqa Al Akhbar berkata, “Bab Dianjurkannya Shalat Tathawwu’ di Tempat Selain Shalat Wajib” (Kemudian beliau membawakan hadits berikut –pent)
Dari Al Mughirah ibn Syu’bah beliau berkata, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam berkata,
لا يصلي الإمام في مقامه الذي صلى فيه المكتوبة حتى يتنحى عنه
“Janganlah seorang imam shalat di tempat ia shalat wajib hingga ia berpindah tempat” (HR Ibn Majah dan Abu Dawud).
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu alaihi wa sallam beliau bersabda,
أيعجز أحدكم إذا صلى أن يتقدم أو يتأخر أو عن يمينه أو عن شماله
“Tidak mampukah salah seorang diantara kalian apabila hendak shalat sunnah, berpindah ke depan, belakang, kanan, atau kirinya” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah).
Asy Syaukani dalam Nailul Authar Syarh Muntaqa Al Akhbar berkata, “Kedua hadits ini dalil disyariatkannya berpindah tempat untuk shalat sunnah, dari tempat dikerjakannya shalat fardhu. Hal ini berlaku bagi imam berdasarkan nash hadits pertama dan keumuman hadits kedua, berlaku juga bagi yang shalat sendirian berdasarkan keumuman hadits kedua dan diqiyaskan dengan imam. Adapun illat hal ini adalah untuk memperbanyak tempat ibadah sebagaimana disebutkan oleh Al Bukhari dan Al Baghawi, karena tempat sujud kelak menjadi saksi di hari kiamat. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :
يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا
“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya” (QS Az Zalzalah : 4).
Yaitu akan dikabarkan berbagai amal yang dikerjakan di atasnya, dan disebutkan pula dalam tafsir firman Allah Ta’ala,
فَمَا بَكَتْ عَلَيْهِمُ السَّمَاءُ وَالْأَرْض
“Maka langit dan bumi pun tidak menangisi mereka” (QS Ad Dukhan : 29).
(Yaitu tafsirnya ialah) Sesungguhnya seorang mukmin apabila meninggal, tempat shalatnya di bumi akan menangis dan amalnya akan terangkat ke langit. Inilah illat yang juga menjadi konsekuensi atas disyariatkannya berpindah dari tempat shalat fardhu ke shalat nafilah (sunnah). Begitu pula berpindah tempat dalam tiap shalat yang dimulai shalat sunnah sebelumnya. Apabila tidak berpindah maka dianjurkan untuk memisah dengan perkataan, berdasarkan hadits larangan untuk menyambung shalat dengan shalat lain hingga berbicara atau keluar dari tempat tersebut yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dan Imam Abu Dawud –selesai nukilan dari Nailul Authar.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum berpindah tempat adalah terlarang, karena dhaif-nya hadits yang menjadi dalil hal tersebut. Al Imam Al Bukhari berkata dalam Shahih-nya, “Bab Tetapnya Imam di Tempat Shalatnya Setelah Salam” lalu beliau membawakan hadits, “Adam berkata kepada kami, menceritakan kepada kami Syu’bah dari Ayub dari Nafi’ ia berkata,
كان ابن عمر يصلي في مكانه الذي صلى فيه الفريضة وفعله القاسم
“Adalah Ibn Umar shalat sunnah di tempat ia shalat fardhu, dan Al Qasim mengerjakan seperti itu”
dan disebutkan dari Abu Hurairah secara marfu’,
لا يتطوع الإمام في مكانه، ولم يصح
“Janganlah seorang imam mengerjakan shalat tathawwu’ di tempatnya shalat (fardhu)”
namun atsar ini tidaklah shahih –selesai nukilan dari Imam Bukhari.
Diriwayatkan dari Ibn Abi Syaibah dari Abdullah ibn Umar beliau berkata,
رأيت القاسم وسالماً -تابعيان- يصلينان الفريضة ثم يتطوعان في مكانهما
“Aku melihat Al Qasim (cucu dari Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu anhu) dan Salman –keduanya tabiin, mereka shalat fardhu kemudian shalat sunnah di tempat yang sama”.
Adapun pendapat pertama ialah yang rajih, berdasarkan kuatnya dalil-dalilnya sebagaimana yang telah kami teliti. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar